Selasa, Mei 13, 2008

"Cinta, sebagaimana ajal, mengubah segalanya"

Cianjur, 31 Agustus 2000

Cinta, sebagaimana ajal, mengubah segalanya

Firman teringat kalimat itu dalam perjalanan liburannya menuju rumah Kakek dan Neneknya. Siapa lagi kalau bukan Kahlil Gibran, pengarang kelahiran Libanon yang menciptakan kata-kata mutiara itu. Firman siswa kelas 2 SMU itu sejak SMP mengagumi sang pengarang.

“Firman, kamu lagi patah hati yah?”

“nggak juga!” sambil memalingkan kepalanya

“kok belakangan kamu selalu murung? Terus tidak pulang bareng lagi ma Putri?”

“ach Kaka usil aja sih”

“yah kaka pengen tau aja, tapi itu juga kalau boleh loh fir”

“Kaka jangan ngerecokin gitu dong mendingan bantuin fir, gitu?”

Firman teringat dengan percakapannya dengan Salman, kakaknya tatkala akan meninggalkan Jakarta, Kak Salman ikut memikirkan retaknya hubunganku dengan Putri, fakir Firman. Dalam bus antar kota yang menempuh perjalanan sehari semalam ke kampong kakek dan nenek, Firman merindukan Putri, gadis semampai itu baru pindah ke SMU, tempat Firman belajar.

Dia sudah kelas 3, kaka kelas Firman, Putri pun ikut lomba puisi se-Jakarta pusat. Mereka, Putri dan Firman masuk 15 besar se-Jakarta pusat. Ke-15 peserta itu akan bertarung dengan siswa siswi dari wilayah lain untuk merebut juara lomba baca puisi se-DKI.

Baru 3 bulan pindah, langsung gadis itu jadi rebutan para cowok, sebenarnnya menurut pengamatan Firman, Putri tidaklaah cantik, tapiperangainya halus, tubuhnya indah, atletis, kulitnya coklat, rambutnya selalu dikepang dua dengan pita hijau, selalu pita hijau, gerakannya lincah lirik matanya membuat orang terpesona.

Firman yang kelahiran Desember dan berzodiak Sagitarius itu sangat agresif, berhasil menawan hati Putri pada bulan ke-4 dari kepindahan gadis itu. Kedua-duanya sama-sama peminat sastra khususnya puisi, Firman yang kesengsem banget oleh Kahlil Gibran sedangkan Putri beridolakan Jalaluddin Rumi yang selalu ia baca puisi-puisi cintanya. Firman adalah pembaca puisi tingkat SMP se-Jakaarta pusat, makin harum namanya ketika ia memenangkan lomba baca puisi dalam peringatan hari pendidikan se SMU di wilayahnya.

Pak Anwar, guru bahasa Indonesia yang otomatis jadi pelatih bagi calon-calon peserta lomba baca puisi, entah bagaimana ceritanya Pak Anwar selalu membuaturutan, setelah putrid, giliran Firman berlatih. Sejak itu keduanya semakin akrab, apalagi sejak itu pula Putri selalu dibonceng bila pulang sekolah, persahabatan itupun telah diketahui keluarga ke dua belah pihak.

Setelah enam bulan selalu bersama-sama Putri, Firman tidak kuat lagi menahan gejolak hatinya yang terus menggebu-gebu sampai akhirnya ia menuliskan surat cinta yang berbentuk puisi yang ia selipkan pada novel yang akan dipinjam Putri.

Firman yang baik, surat pernyataan cintamu yang berbentuk puisi bebas itu mengejutkanku, aku nggak nyangka kamu telah merusak persahabatan kita dengan surat itu. Ketahuilah Fir, sejak kelas 3 SMU aku telah dipertunangkan dengan saudara sepupu jauhku, Rama, yang kini sedang studi di Berlin, Jerman, mengertilah Fir, maafkan aku ya fir! Tertanda Putri

Dibawah surat balasan singkat itu putrid menuliskan

NB : Kuharap pada kamu Fir, balasan itu tidak merusak persahabatan kita.

Begitulah pada mulanya Firman jadi pendiam, murung dan kurang senang diajak ngomong, ketika libur panjang tiba Firman pamit pada ayah, Ibu dan Kak Salman. Salman menyangka kalau Firman ngambek, Firman patah hati karena ternyata putrid telah bertunangan. Konon, pertunangan Putri itu diatur ke dua belah pihak keluarga. Dalam keluarga, Putri adalah anak tunggal. Ibunya menderita kanker rahim setelah melahirkan putrid, dokter melarang sang Ibu hamil lagi. Tak jelas mengapa Putri patuh saat dipertunangkan menjelang Rama berangkat ke Berlin setahun silam. Pertimbangan Putri yang utama adalah Putri tidak ingin melukai hati kedua orang tuanya, ia ingin membahagiakan Ayah dan ibu, tapi apakah ia bahagia dengan pertunangan itu? Putri tak pernah membuka rahasia hatinya pada siapapun.

Bus eksekutif antar kota- antar provinsi itu berhenti di sebuah dusun di Palembang. Firman agak kecewa karena Kakek dan Nenek tidak berada di rumah lama, keduanya menunggu rumah baru di lading. Paman Ade, adik Ayah, siap antarkan Firman ke rumah baru di lading, dekat sungai kecil dinaungi dengan rimbunan pohon-pohon hutan.

Kakek dan Nenek sedang panen padi di lading, cerita Paman Ade. lelaki lajang itu mengantarkan keponakannya dengan Delma yang ditarik kuda hitam yang gagah.

“Ehm, sudah lama kakek dan nenek di rumah baru, Paman?

“semingguan lah”

“Apa nggak sunyi disana?”

“Tetangga pun membuat rumah baru di lading itu, hem sudah ada lima rumah baru disana. Firman tidak akan kecewa, ladang kakek dan Nenek itu terletak di tempat ketinggian, sungai meliuk-liuk dibawah tebing sekitar lima ratus meter dari rumah baru, hijau! Hijau semata disana. Firman akan senang. Paman dapat cerita dari Kakek, katanaya Firman akan lomba baca puisi se-DKI Jakarta yah?

“Insya Allah ان شأ الله paman”

“bagus Fir, bisa latihan di rumah baru di lading, disana tenang sekali, konsentaris pun tidak akan terganggu” setengah jam kemudian, delapan gubuk peladang pun terlewati, seluas-luas memandang, tampaklah hamparan padi di ladang yang matang berwarna emas.

“kita hamper sampai, lihat ke timur! Rumah panggung beratap ilalang itu rumah kita!”

Angin hutan meghembuskan sejuknya seakan menyambut kehadiran Firman, cericit burung pipit memenuhi ruang angkasa, sunyi sekitar tercium wangi bunga-bunga hutan, yang tidak dikenal jenis bungaa apa itu. Firman menengok kanan kiri, mengagumi panorama alam peladangan, yang terpencil, hening dan tentram, kelopak-kelopak sayap binatang rimba terdengar amat jelas.

Kakek dan Nenek bergantian memeluk Firman. Cucu dari anak lelaki sulung mereka.

“Firman, kau akan tinggal di lading sampai habis liburan kan?” Nenek membelai-belai rambut lurus Firman

“ya, nek!”

“besok pagi-pagi, kita mincing di sungai” kata Kakek

“tapi pakai topi ya, jangan sampai kulit kuningnya Firman terbakar matahari Kek” kata Nenek “Tentu Nek”

Tak jauh dari rumpun tebu yang sedang berbunga terlihat Paman Ade sedang memberi makan kuda hitamnya, waktu itu pohon-pohon raksasa di sebelah timur menderu-deru angina sedang kencang.

“bunyi apa itu Nek?” Firman menunjuk ke timur

“hutan sedang menyanyi” jawab Nenek tepat.

Mataharipun tenggelam di balik hutan sebelah barat, ke arah sanalah satu jam silam Paman Ade bersama kudanya pergi menuju dusun. Cuaca yang kemerahan sesaat tadi berangsur menggelap. Hutan-hutan yang semula hiaju pupus menjadi kelam, menggambarkan kehitaman malam.

Malamnya seusai magrib dan sholat isya bersama keluarga bertembat di rumah Kake, dari sebelas jamaah shlat Isya ada seseorang yang mendebarkan hati Firman, gadis itu bernama Fitri, putrid tetangga terdekat.

“Ehm, Firman sedng memikirkan apa?” Kakek bertanya seusai sholat.

“nggak mikirin apa-apa kok Kek”

“tadi malam sama Fitri ya Fir? Giliran nenek bertanya

Firman mengangguk

Firman berdiri di tangga rumah, tangga itu terbuat dari kepingan kayu tebal, obor-obor bamboo berbahan baker minyak tanah menyala di tiap rumah. Kawasan di kejauhan belum kelam pekat, di langit terserak bintang-bintng mengawal bulan yang muncul malu-malu. Ketika mendengar lengkingan biola dari arah sebuah rumah, Firman terkejut, gesekan biola itu merdu tapi Firman tidak mnegenal lagu apa yang sedang diamainkan si penggeseknya, sungguhpun tidak mengenal lagunya, Firman merasa sangat senang, Ia segera masuk rumah dan bertanya pada Nenek

“Nek, denger nggak suara lagu itu? Siapa sih yang memainkannya?”

“ oh itu! Siapa lagi kalau bukan Fitri, dia keponakannya bibi Kulsum, dan dia pun belum lama berlibur disana, dia pun sekolah di kota” cerita Nenek.

“Nenek lihat sejak kenalan, Firman mengagumi kecantikan Fitri” lanjut Nenek sambil tersenyum

“sekolah dimana Nek” Tanya Firman penasaran

“SMU seperti kamu, tapi entah di kota besar mana, besoklah kamu Tanya langsung”

Besoknya, seusai sholat subuh, Kakek dan Firman pergi ke sungai untuk memancing ikan, saat itu pula Fitri dan bibi Kulsum ke sungai untuk mandi dan mengambil air untuk minum di sungai yang sama. Kembali jantung Firman berdebar ketika memandang wajah Fitri, saat itu pula angin dari sungai mengalirkan bau harum bunga pundak hitam.

Sepanjang jalan Firman dan Fitri ngobrol tentang lagu yang dimainkan dengan biola tadi malam, Firman memuji pemain biola itu dengan jujur.

Firman dapat memainkan biola?” Tanya Fitri

“tak satu instrument musikpun dapat kumainkan, sungguh!” jawab Firman

“sekarang belajar di sekolah apa?” Tanya Firman sambil dadanya berdetak kencang

“SMU kelas 2, Fir”

“ sama donk, aku juga SMU kelas 2”

Sesiang itu Firman menyaksikan langsung Fitri memainkan biolanya, gadis itu menggesek biola dengan memejamkan mata.

“boleh Firman nanya?” sesaat setelah Fitri memainkan biolanya, Fitri mengangguk sambil menatap mata Firman

“Apa judul lagu yang kau mainkan?”

“Nyanyian malam, lagu itu diciptakan Ayah, beberapa bulan sebelum Ayah meninggal. Fitri menyanyikannya jika rindu pada Ayah, lengkapnya adalah nyanyian burung malam” matanya langsung berkaca-kaca.

Liburan berlalu, Fitri pulang lebih dulu ke kota besar. Karena keasikan bercanda, Firman lupa menanyakan alamat gadis cantik itu, Firman menyalahkan ketoledorannya sambil menghentakan kakinya ke tanah berkali-kali sepeninggal Fitri.

“jangan menyesal, kalau Tuhan menghendaki, suatu saat nanti kau akan dipertemukan kembali, yakinlah Fir, “ nasihat Nenek.

Firman kembali ke Jakarta, lomba baca puisi diselenggarakan di TMII, seluruh utusan dari lima wilayah adu keindahan di gedung besar. Ribuan penonton memadati gedung bersama keluarga peserta lomba. Firman diantar Kak Salman dengan mobil Ayah, teman-teman Firman banyak yang ikut memberi semangat. Selama dewan juri menentukan para juara, ada banyak selinagn apa itu berupaa tarian, nyanyian dan lain-lain, ketika MC mengumumkan selingan terakhir , Firman terlonjak dan berdebar jantungnya berdegup kencang.

“inilh selingan terakhir, sebuah permainan biola oleh Fitri dari SMU Koja, Jakarta Utara, ia akan memainkan lagu berjudukl nyanyian burung malam” tepuk tangan penonton gemuruh dan Fitri pun mincul bersama biola di tangannya. Firman langsung berdiri, ia merasa bermmimpi di siang hari, saat itu pula ia teringat kata-kata Nenek. Usai Fitri memainkan lagu, Firman menyeruak dari kerumunan penonton, ia tidak malu-malu memanggil nama Fitri. Gadis itupun terpaku di tengah sorak dan pekik penonton.

“kau…..kau Firman yang di ladang itu?” Tanya Fitri tak percaya, Firman mengangguk dengan pasti. Usagi

Tidak ada komentar: